Sintang, transkapuas.com - Dinas Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kabupaten Sintang melaksanakan focus group discussion tentang dampak perkawinanan anak pada aspek pendidikan, kesehatan dan kemiskinan bersama multistakeholder forum di Tingkat Kabupaten Sintang tahun 2022 pada Kamis, (6/102022) di Hermes Sky Hotel My Home. FGD terlaksana karena ada kerjasama dengan mitra kerja USAID Erat.
Kepala Dinas Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kabupaten Sintang Maryadi menjelaskan bahwa perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 tahun.
“Batas usia dimaksud dinilai telah matang jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang sehat dan berkualitas” terang Maryadi.
"Bahwa perkawinan pada usia anak menimbulkan dampak negatif bagi tumbuh kembang anak dan akan menyebabkan tidak terpenuhinya hak dasar anak seperti hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, hak sipil anak, hak kesehatan, hak pendidikan, dan hak sosial anak” tambah Maryadi.
Maryadi menjelaskan bahwa pemberian dispensasi oleh Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri bagi yang beragama lainnya hanya dapat dilakukan melalui pengajuan permohonan dispensasi oleh orang tua dari salah satu atau kedua belah pihak dari calon mempelai dengan alasan sangat mendesak karena keadaan tidak ada pilihan lain dan sangat terpaksa harus dilangsungkan perkawinan, dengan bukti-bukti pendukung yang cukup seperti surat keterangan yang membuktikan bahwa usia mempelai masih di bawah ketentuan undang-undang dan surat keterangan dari tenaga kesehatan yang mendukung pernyataan orang tua bahwa perkawinan tersebut sangat mendesak untuk dilaksanakan.serta berdasarkan pada semangat pencegahan perkawinan anak, pertimbangan moral, agama, adat dan budaya, aspek psikologis, aspek kesehatan, dan dampak apabila pihak pria dan wanita berumur di bawah 19 tahun.
“Perkawinan anak berdampak masif diantaranya meningkatnya resiko putus sekolah, pendapatan rendah, kesehatan fisik akibat anak perempuan belum siap hamil dan melahirkan dan ketidaksiapan mental membangun rumah tangga yang memicu kekerasan, pola asuh tidak benar hingga perceraian. itu sebabnya perkawinan anak merupakan pelanggaran hak asasi manusia” tambah Maryadi.
“Praktik perkawinan anak merupakan pelanggaran atas hak-hak anak yang berdampak buruk terhadap tumbuh kembang dan kehidupannya di masa yang akan datang sehingga dengan demikian, perkawinan anak juga merupakan pelanggaran HAM karena hak anak adalah bagian dari HAM. diakui salah satu tantangan terbesar adalah karena perkawinan anak sangat lekat dengan aspek tradisi, budaya dan masalah ekonomi” tambah Maryadi.
“Saya berharap semua pemangku kepentingan di berbagai sektor dapat meningkatkan komitmen masing-masing dalam mendukung upaya pencegahan perkawinan anak. Gerakan bersama pencegahan perkawinan anak dan menyusun peraturan pemerintah tentang pelaksanaan undang-undang perkawinan anak dibawah umur. Perlu saya garis bawahi bahwa hanya dengan sinergi dan kerja bersama dengan berbagai pihak, praktik-praktik perkawinan anak dapat kita percepat penghapusannya secara lebih terstruktur, holistik, dan integratif” terang Maryadi.
“Perlu ada edukasi dan pendampingan sosial yang intensif yang memberikan kesadaran kepada orang tua bahwa menikahkan anak itu banyak dampak negatifnya harus ada perlindungan bagi anak-anak perempuan di bawah umur dari kemungkinan terjadinya perkawinan anak, terlebih di dalam UU tindak pidana kekerasan seksual Nomor 12 tahun 2022 mengkategorikan perkawinan anak sebagai pemaksaan perkawinan akan ada sanksi yaitu pemaksaan perkawinan pidana penjara paling lama 9 tahun dan/ atau pidana denda paling banyak 200 juta. Perempuan dan anak perlu diberdayakan, dilindungi, dan dipenuhi haknya, mengingat jumlah dan potensinya yang sangat besar bagi bangsa” tutup Maryadi.
Sumber: Humas Pemda Sintang
Reporter : K. Robenson