Sekadau, transkapus.com - Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) dan Perkumpulan Kaoem Telapak mengelar Focus Group Diskriosion (FGD) tentang usulan peraturan uji tuntas Uni Eropa dan dampaknya terhadap petani kecil Mandiri dan komunitas lokal.
Kegiatan tersebut mengambil topik usulan peraturan uji tuntas Uni Eropa dan dampaknya terhadap petani kecil Mandiri dan komunitas lokal, yang dibuka oleh Sekretaris Dinas DP3K Kabupaten Sekadau, Ir.Eddy Mulyono, M.Si di Star market,Rabu (11/5) 2022
Acara ini diikuti sekitar 36 orang peserta terdiri dari perwakilan Masyarakat Adat dan komunitas lokal, kelompok/koperasi petani, dan perwakilan organisasi Masyarakat Pemerintah Daerah, Dinas Pertanian dan Perkebunan dan Dinas Lingkungan Hidup.
Dalam sambutan Kepala dinas DP3K Drs. Sande yang dibacakan oleh Ir.Eddy Mulyono, mengakatakan bahwa Pemerintah Kabupaten Sekadau menyambut baik FGD ini.
“Pemerintah Daerah sangat mendukung kegiatan FGD ini sebagai bagian diskusi internal untuk kemajuan petani di Kabupaten Sekadau agar bisa makin mandiri. European Union Due Diligence Regulation (EUDDR) ini merupakan "barang" baru yang belum dikenal dan dipahami oleh banyak orang bahkan pihak-pihak yang notabene berkepentingan terhadap hal ini, termasuklah diantaranya Pemerintah Daerah dan Petani Swadaya serta Masyarakat Adat. Padahal sebagai negara produsen komoditas tersebut, kita akan mendapatkan dampak secara langsung maupun tidak langsung oleh regulasi ini,”ujarnya.
“Terkait petani swadaya yang secara umum merupakan produsen utama penghasil komoditas kelapa sawit, kopi, kakao, kedelai, kayu dan daging sapi maka harus menjadi perhatian khusus. Berdasarkan data Statistik Perkebunan Jumlah Petani kecil swadaya (smallholder) di Kabupaten Sekadau untuk komoditas tersebut adalah: Petani Kelapa Sawit 30.781 KK Petani Kopi 110 KK -Petani Kakao 461 KK,”ungkapnya.
Sementara itu, Ketua SPKS Kabupaten Sekadau, Bernadus Mohtar menyampaikan maksud dan tujuan kegiatan ini adalah sosialisasi tentang kebijakan di Uni Eropa dengan peraturan EUDDR dan kita mengharapkan bahwa kebijakan ini tidak memberatkan para petani sawit di Indonesia dan kalau ini diterapkan akan berimplikasi langsung kepada petani kecil dan akan memberatkan kata Mohtar.
"Petani skala kecil dibatasi 1,5 ha dan jika ini betul-betul diberlakukan oleh Uni Eropa, ini cukup memberatkan kita sebagaimana kita ketahui kalau 1,5 ha itu tidak cukup untuk menghidupi kebutuhan petani. Kita perjuangkan lebih dari lebih dari 1,5 ha agar cukup dan bisa mensejahterakan petani itu sendiri dan kita berharap agar kebijakan terkait tanggal 30 Desember 2021 lalu yang mengklasifikasi produk di atas tanggal tersebut ke dalam konteks deforestasi dan degradesi hutan. Ini yang kita akan diskusikan hari ini dan seterusnya,”jelas Mohtar.
Kaoem Telapak dari Bogor yang diwakili oleh Andre Barahamin, Campaigner menyatakan akan memperjuang para petani dengan cara sosialisasi peraturan.
“Diskusi terfokus ini adalah untuk melakukan sosialisasi langsung kepada petani kelompok masyarakat adat dan komunitas lokal terkait soal rencana bakal terbitnya regulasi di Uni Eropa soal produk bebas deforestasi dan degradasi hutan karena ada 6 komoditas yang akan diatur dan 4 diantaranya itu adalah produk yang sering diekspor Indonesia ke Eropa Kami merasa penting untuk mengambil inisiatif dengan cara melakukan sosialisasi langsung ke level tampak agar supaya para petani di sektor hulu sebagai produsen itu memahami dan menyadari serta mengetahui bahwa regulasi ini juga nanti diterbitkan akan memiliki dampak serius yang akan implikasinya langsung ke ekonomi petani dan masyarakat adat dan komunitas lokal,”ujarnya.
Aloysius Amakii, seorang petani sawit asal Sekadau Hilir berharap agar eksistensi petani sawit mandiri tetap berkelanjutan dan ada support dari pemerintah daerah.
“Kita para petani mandiri ini harus berkelanjutan, kita berharap keterlibatan pihak pemerintah daerah dalam rangka mempertahankan harga bagi petani," tutup nya. (Sy)